Pemanasan global, selain menyebabkan perubahan iklim, juga menaikkan
suhu bumi rata-rata 0,2 derajat celsius per 10 tahun atau 2 derajat
celsius dalam 100 tahun. Kenaikan suhu sebesar itu menyebabkan kenaikan
permukaan air laut setinggi 20 sentimeter. Demikian diungkap Kepala
Pusat Studi Energi (PSE) UGM, Prof Dr Jumina, di kantor PSE UGM, Sekip
Yogyakarta, Senin (11/4/2011).
Lebih lanjut, Jumina mengatakan, tanpa ada upaya serius dan
sistematis untuk mengurangi emisi gas rumah kaca seperti karbon
dioksida (CO2) ke atmosfer bumi, suhu rata-rata permukaan bumi yang
pada tahun 2010 berada pada kisaran 14,6 derajat celsius akan naik
menjadi sekitar 25 derajat celsius pada tahun 2500.
"Artinya,
bumi tak akan lagi menjadi tempat hunian yang nyaman bagi manusia,
hewan, maupun tumbuhan. Bahkan sangat mungkin manusia tak akan dapat
bertahan hidup pada kondisi seperti itu," tutur Jumina.
Terjadinya
peningkatan emisi CO2 secara terus-menerus itulah yang menyebabkan
para pakar lingkungan merasa sangat prihatin. Usaha untuk mengurangi
emisi CO2 pun dilakukan, antara lain melalui penandatanganan Protokol
Kyoto pada 1999. Sayang, Amerika Serikat sebagai penyumbang emisi CO2
terbesar kedua di dunia hingga saat ini belum bersedia menandatangani
protokol tersebut.
"Begitu pula China yang merupakan penghasil emisi CO2 terbesar di dunia," ungkapnya kemudian.
Data
menunjukkan, sumbangan sektor energi terhadap emisi CO2 dan fenomena
pemanasan global sangat besar. Dengan demikian, demi mengurangi tingkat
emisi CO2 domestik dan menekan laju terjadinya pemanasan global, maka
penerapan konsep energi bersih sangat diperlukan. "Energi bersih bisa
diartikan sebagai energi ramah lingkungan, atau energi yang tidak
menimbulkan pencemaran lingkungan," jelas Jumina.
Bila Indonesia
dapat menerapkan konsep energi bersih, maka sistem energi yang dibangun
bukan hanya menghasilkan ketahanan energi dalam arti terjadi
keseimbangan antara kebutuhan dan pasokan energi nasional, tapi juga
dapat mewujudkan terciptanya lingkungan yang sehat, nyaman, dan lestari.
"Sehingga sistem energi yang diterapkan akan bervisi jauh ke depan
tanpa harus merampas hak dasar generasi penerus," kata Jumina.
Kenyataan,
pengembangan teknologi energi bersih dan ramah lingkungan di Indonesia
belum memuaskan. Keterbatasan kemampuan SDM merupakan faktor utama.
Untuk itu, PSE UGM bekerja sama dengan Sekolah Pascasarjana UGM
menggelar seminar sehari "Pengembangan Sumberdaya Manusia Bidang Energi
Bersih Menuju Ketahanan Energi Nasional", di gedung Pascasarjana UGM,
Selasa (12/4/2011).
Seminar menampilkan beberapa narasumber,
antara lain anggota Dewan Energi Nasional (DEN) Dr Ir Tumiran MEng;
Direktur Energi, Telekomunikasi, dan Informatika Bappenas Ir Jadhie J
Ardajat MSi; Dirjen Minyak dan Gas Bumi Kementerian ESDM Dr Ing Evita
Legowo; Direktur Energi Primer PLN Ir Nur Pamudji MEng; Kepala Badan
Pengkajian Iklim dan Mutu Industri Kementerian Perindustrian Ir Arryanto
Sagala; serta Dirjen Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi
Kementerian ESDM Ir Luluk Sumiarso MSc. Kompas
Categories:
Info